“Pokoknya aku enggak suka pake kain sarung, bang. Enggak biasa. Di rumah aja jarang pake, apalagi kemana-mana.” Kata seorang teman ketika saya tanyakan pendapatnya tentang kain sarung (ija kroeng). “Lho, kenapa, Na?” Tanya saya menyelidik. Ina namanya.
“Enggak nyaman aja, bang. Lihat orang pakai sarung aja udah gimana gitu rasanya. Geli-geli gitu. Abang eggak tau sih bagaimana traumanya diriku melihat orang pakai kain sarung.” Jawabnya mencoba menerangkan. “Trauma?”. Saya masih belum paham.
“Iya, bang. Dulu aku pernah ‘taaruf’ sama seseorang. Dan pada saat itu dia pakai sarung. Parahnya lagi, dia ‘menitipkan’ fotonya pada kawanku juga dengan pose pakai sarung. Lantas aku tanya sama si kawan, apakah si doi selalu pakai sarung? Iya jawabnya. Kemana-mana pakai sarung. Sejak saat itu langsung saja ‘taarufnya’ cukup sampai disitu, enggak berlanjut lagi. Celakanya, sejak saat itu aku sudah enggak sreg sama yang namanya ija kroeng dan orang yang kemana-mana pakai kain sarung. Kecuali untuk shalat.”tutupnya dan dia pun berlalu.
Pandangan
Kutipan percakapan diatas benar-benar terjadi, sodara-sodara. Saya ulangi, benar-benar terjadi. Taaruf atau perkenalan bisa terjadi kapan dan dimana saja. Namun, kesan pertama itu sangat menentukan. Bisa berlanjut atau cukup sampai disitu.
Anda mungkin sudah mahfum kondisinya. Bahwa ada yang menganggap memakai ija kroeng atau kain sarung itu identik dengan “meukuluthuh”—terkesan tidak rapi, “hana meuoh ban”—tidak enak dipandang mata--, kolot dan aneka kesan miring lainnya. Ironisnya lagi, ya seperti tamsilan percakapan saya diatas tadi, gagal taaruf gara-gara Ija kroeng.
Bagi sebagian anda, mungkin, akan “mengutuk” seorang perempuan yang menolak seorang laki-laki hanya karena ija kroeng. Bukankah ada ulama dan pembesar negeri yang pakai ija kroeng kemana-mana? Lalu, salahnya dimana?
Bagi sebagian yang lain, mungkin yang lebih modern, ija kroeng terkesan tidak mengikuti zaman alias unfashionable, tidak ikut tren. Yah, wajar-wajar saja anda berpikir demikian. Apalagi bagi anda yang pernah melihat orang pakai sarung kemana-mana dan sudah lama tidak dicuci. Konon, katanya, Ija kroeng yang sudah lama dipakai itu menandakan “kesaktian” seseorang. “ukuran jeut tapeudông”, begitu istilahnya. Kain sarung bisa diberdirikan tanpa patah, saking kerasnya.
Lantas, bagaimana seharusnya?
Idealnya, kain sarung itu selain bahannya bagus, warna dan motifnya juga mesti bagus. Sesuai dengan orang yang memakainya. Tidak terkesan "kampungan" atau menolak modernitas. Dipakai kemana-mana pun tidak masalah.
Soal cocok atau tidaknya, itu tergantung orang. Masalah ganteng atau tidak, cantik atau enggak, juga kembali kepada si pemakai ija kroeng. Seorang teman yang lebih moderat bilang, “ pakaian menunjukkan jati diri seseorang. Kain sarung lebih-lebih. Jangan ketuaan kain sarung ketimbang orangnya. Jangan bikin ill feel orang liatnya. Pakai kain sarung kemana-mana ya boleh-boleh saja, asal disesuaikan tempat dan kondisinya. Pun budaya pakai Ija kroeng itu sudah lama ada di tempat kita. Ya harus dilestarikanlah. Modif dikitlah, biar menarik."
Bagi kaum muda, memakai ija kroeng itu sebagai andil melestarikan budaya. Soal motif, itu pasti. Selaku orang muda yang berbudaya namun tak kurang fashionable, soal gaya jadi perhatian utama.
Itulah mengapa kehadiran Ija Kroeng, sebuah merek yang mengangkat nama khas Aceh, sudah berjalan setahun, #SithonIjaKroeng, saya kira, untuk menjawab tantangan berbudaya tanpa kelihatan kolot atau kuno. Jadi, tidak ada lagi kesan kumuh, ketuaan, usang, dan kesan-kesan lain ketika orang memandang. Dibawa pakai kemana saja juga gampang saja.
Selaku orang muda, saya sangat mengapresiasi ide pembuatan ija kroeng yang bermotif khas Aceh ini. Sudah lama saya ikuti perkembangannya. Selain desainnya yang polos, modis, bahannya juga ikut berpengaruh pada nyaman atau tidaknya memakai Ija Kroeng. Ditambah lagi dengan nama yang sudah sangat familiar di telinga dan keseharian kita, Ija kroeng juga menjawab tuntutan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya tetua kita.
Akhirnya, selamat ulang tahun #IjaKroeng! Di umur yang baru menginjak setahun #SithonIjaKroeng ini sudah berhasil mengajak kita mencintai budaya memakai kain sarung tanpa lupa diri bahwa kita “masih” muda. Dan semoga saja dengan kehadiran ija kroeng ini tidak ada lagi para jomblo yang gagal ta'aruf hanya gara-gara dia gemar memakai ija kroeng. Nah! :D
Rafli Kande memakai Ija kroeng pada saat tampil di luar negeri via http://archives.portalsatu.com/
Ija Kroeng sebagai penghangat badan ketika hiking. Photo: dok. Pribadi
jadi, bang marcel nggak coba lamar si adek ina itu? :D
ReplyDeleteUdah, bang!
DeleteKebetulan saya juga pake Ija Kroeng waktu itu. Kan makin trauma dia, bang.hahahahaha
(Siap shalat jumat soalnya,hehe).
Saya suka pake ija kroeng kalau di rumah, bisa sebagai pengganti rok, ija kroeng yang Saya suka yang bahannya lembut jadi kalau dipakai jatuh gitu.... secara kita ini perempuan aceh hahaha
ReplyDeleteSaya juga, kak. Adem gitu kalau pake ija kroeng.hehe Dibawa pas bepergian jadi sebagai pengganti selimut, sajadah atau sekadar sarung untuk shalat.
Delete:D
hahha.. lawak bang.. bisa dicoba sekali2 biar nampak menjaga budaya depan mak tuan..:)
ReplyDeleteHaha... bisa, bang!
DeleteMenjaga budaya, smakin dsayang sama mak tuan, juga adem! Haha...
:D