Di saat supermarket merajalela dan buka
cabang dimana-mana, pasar tradisional, tidak dapat kita pungkiri tetap
masih diminati dan punya daya tarik tersendiri. Di pasar tradisional, kita
tidak hanya mengenal “hubungan antara konsumen dan produsen”. Lebih dari itu.
Di saat tawar menawar dilakukan, maka terciptalah suatu hubungan. Hubungan kekeluargaan. Bukan sekadar pembeli dan penjual.
Di pasar ikan dan sayur Peunayong,
misalnya. Ketika anda memasuki pasar itu, anda akan dipanggil oleh pedagang di
sana. ikan apa yang ingin anda beli dan berapa harga yang sesuai dengan isi
kantong anda.
Anda tentu bisa membayangkan, bagaimana
jadinya kalau di pasar ikan tidak ada lagi komunikasi. Tidak ada tawar menawar
dan orang yang berbicara dengan anda. Yang ada hanya leaflet atau brosur yang
menerangkan tentang ikan si atas meja. Anda lihat sendiri, ambil sendiri, dan
bawa pergi ke kasir untuk membayar.
Bahkan, pada saat pembayaran pun, anda
akan merasa senang kalau saja kasirnya ramah dan mengucapkan ‘terima kasih’. Kalau
saja di suatu pasar kita tidak menemukan suara manusia, anda akan merasa ada
yang hilang. Bahwa manusia bukanlah makhluk bisu. Ada suara-suara yang menemani
agar suasana menjadi hidup.
Dengan alasan demikian, sudah sepatutnya
dan seharusnya pasar tradisional itu tetap ada dan dipertahankan meski di era
modern. Kita tidak hanya membeli barang, tapi juga sebuah hubungan. Hubungan
kekeluargaan, bukan saja sebagai “konsumen-produsen”.
Ya, kehidupan perkotaan akan sangat sunyi tanpa kekeluargaan. Semoga tidak seperti itu adanya.
ReplyDeleteBetul itu, bg. Seperti kota mati. Kehidupan yang sangat kaku. Stress di perkotaan bisa jadi berawal dari tidak adanya komunikasi.
Delete