Komplain yang Berlebihan via |
Komplain
adalah keluhan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonsia disebutkan, ke·luh n
ialah ungkapan yang keluar karena perasaan susah (karena menderita sesuatu yang
berat, kesakitan, dsb). Komplain dapat
menjadi salah satu tolok ukur kalau alam nalar kita masih bekerja. Tidak menerima
begitu saja terhadap situasi. Alam akal masih waras.
Dalam pada itu, diluar dari keluhan
konsumen kepada pemilik layanan atau jasa terhadap pelayanan yang berhak
diperoleh oleh konsumen, memprotes segala sesuatu tanpa tahu diri untuk
menerima sebuah keadaan justru menjadi malapetaka. Karena akal saja tidak cukup
untuk melihat sebuah realita. Butuh intan nuraini nurani untuk dapat
menerima kenyataan. Ada juga yang menyebut hal begini sebagai orang yang tidak
bersyukur. Sikit-sikit protes!
Efek negative dari komplain yang
berkelanjutan dapat menyebabkan gundah gulana atau stress. Bahkan, bahayanya,
bisa pada tahap gila. Ketika kita tidak mencoba untuk menerima keadaan, ujung-ujungnya
kita akan memikirkan hal-hal itu saja. Jiwa kita juga bisa tidak stabil, tidak
damai, bahkan gelisah. Kemana-mana kita akan memikirkannya. Dengan perasaan dan
pikiran yang tidak tenang, hidup bisa saja ‘hampa udara’. Dapat anda bayangkan
apa jadinya kalau kita masih menolak “kekuasaan Allah” atas kejadian yang
menimpa kita, jatuh ke selokan misalnya. Yang perlu kita pelajari adalah kenapa
kita bisa sampai jatuh? Apa karena asik
liat orang alias bengong atau bersebab apa? Namun bila semuanya yang
bisa kita nalarkan tidak juga ketemu sebabnya, ya sebaiknya terima saja. Syukur
Anda masih hidup.
Syukur adalah kebalikan dari komplain atau
protes. Ada pepatah mengatakan, “start count your blessing, not your troubles!”
Hitunglah rahmat yang kamu peroleh, bukan masalahmu! Singkatnya, syukuri dan
nikmati apa yang telah kita peroleh. Mungkin saja kita sedang menghadapi masalah
pelik, namun jangan lupa bahwa ada yang lebih pelik dari kita. Dengan begitu,
kita akan senantiasa tenang dan damai. “Hidup untuk dinikmati bukan untuk
dibikin pusing”, begitu kata orang.
Sekarang, siapa yang tidak punya masalah? Anak
SD saja punya masalah. Bedanya cuma di level dan kadarnya.
Rintangan terkadang datang untuk menguji
kita. Ia juga dapat menjadi sebuah pijakan bagi orang yang sedang menuju
kejayaan. Entah esok atau lusa, suatu saat nanti masa kesuksesan akan kita
raih. Yakin saja ada waktunya. Inilah sebuah optimisme yang perlu dijaga dan
ditumbuhkan. Agar semangat dan layar yang sudah terkembang tidak mudah merosot
dan melorot. Rintangan tetaplah rintangan hingga kita datang dan menganggapnya
sebagai peluang. Peluan untuk merasakan masa gagal. Agar kita punya cerita
untuk diceritakan ketika sukses nanti.
Banyak orang sukses justru menarik kita
simak kisahnya kalau ia punya banyak rintangan dan kegagalan. Bagaimana ia
mengahadapi situasi sulit dan berani mengambil keputusan di saat pelik. Semuanya
serba menarik. Akan tetapi, kalau sukses karena warisan, misalnya harta yang
berlimpah warisan orangtua, tentu kita akan mendengarnya dengan cara yang
biasa. Tak ada yang menarik. Tak ada yang baru. Semuanya seakan sudah tersedia.
Walaupun sebenarnya mempertahankan itu juga sulit. Nah, kalau dia gagal, itu
yang patut dipertanyakan.
Tentunya, tidaklah berhenti sampai disitu.
Komplain itu bagus selama ada usaha untuk memperbaiki keadaan menjadi lebih
baik (lagi). Berusaha mengubah sesuatu sesuai dengan kemampuan tanpa ada kata
menyerah. Bukan malah sebaliknya. Setidaknya disitu letak perbedaan komplain
yang berkompeten dibandingkan dengan komplain yang impoten.
0 comments:
Post a Comment