//]]>

Karena Tidak Semua Orang yang Melintas Berpandangan Sama!

Ki Hajar Dewantara dan Makna Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas)

Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional via muhammadkhairiharahap.wordpress.com
Lintasanpenaku.com--Hari ini, 2 Mei 2015, adalah hari pendidikannasional. Hari yang mengacu pada tanggal kelahiran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Seorang yang semula bernama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat ini lahir 126 tahun lalu, 2 Mei 1889, di Yogyakarta. Kemudian pada umurnya yang ke 40, menurut kabar, ia melepaskan gelar kebangsawanannya dan berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara untuk mendekatkan diri dengan rakyat, salah satunya adalah dengan memberikan hak akses pendidikan bagi seluruh rakyat.
Sebagai pendiri Perguruan Taman Siswa, ia menyadari betul arti pendidikan untuk sebuah peradaban, salah satunya adalah tentang menjadi manusia Indonesia. Ia menyadari betul akan “bahaya” kolonial Belanda yang mengajarkan pelajaran-pelajaran sejarah yang “memiskinkan” rasa bangga dan kecintaan kita akan bangsa sendiri.
Mungkin anda sudah paham atau bahkan hafal betul ajaran atau istilah yang diajarkannya yang melekat sampai sekarang, di sekolah hingga perguruan tinggi. “Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Dengan tiga falsafah itu, seyogianya, pendidikan kita semakin maju. Karena hanya dengan pendidikanlah kita dapat mencapai derajat kehidupan yang lebih baik (lagi).
Budaya nalar dan literasi
Sistem pendidikan kita saat ini masih mengadopsi pada gaya lama, yaitu hanya sebatas pada “baca-tulis-hitung”. Hanya sebagian kecil saja yang sudah membudayakan sistem belajar baru, dalam konteks kekinian. Salah satu indikatornya nampak pada daya nalar siswa yang masih rendah. Tidak semua siswa mampu mengkritisi atau setidaknya menjelaskan apa maksud si penulis dari apa yang sudah ditulis menurut bahasa dan pemaknaannya.
Hal ini juga terpatri dari soal-soal yang kurang menanyakan pendapat atau dalam bentuk esai. Yang banyak malah pilihan soal yang multiple choise atau jawaban yang benar a, b, c, d, atau e. Walau pun, pada dasarnya jawaban itu berasal dari pemikiran yang logis atau mesti dhitung dulu.
 Budaya nalar yang tinggi itu sendiri berawal dari budaya literasi kita yang masih rendah. Untuk meningkatkan literasi salah satunya adalah dengan buku.
Tentu, buku bukanlah satu-satunya hal yang dapat memengaruhi budaya nalar dan literasi. Guru pun turut ikut andil dalam memajukan pendidikan yang melibatkan buku dan bahan bacaan yang bukan hanya berperan sebagai textbook, melainkan juga sebagai sumber ajar. Hal ini tentu akan memfasilitasi guru dan siswa dalam proses pembelajaran yang dialogis, aktif dan kritis.
Dalam dunia yang setiap hari dibanjiri oleh teks, simbol dan angka-angka, kiranya kita perlu beranjak dari hanya baca tulis hitung menjadi baca, kaji, hitung, nalar, kritisi dan tulis. Hal ini bukan tanpa pasal. Kalau saja kita “terperangkap” dengan informasi yang kita terima saban waktu –sebagian menyebutnya sebagai kebanjiran informasi-- dan tidak dapat kita pahami, maka kita akan terjebak di dalamnya dan akhirnya akan melahirkan generasi yang “bingung dan linglung”. Salah satunya dapat kita lihat dari respon dan reaksi masyarakat terkait dengan informasi yang beredar, baik di media sosial, media massa –cetak maupun online—yang belum tentu benar. Sehingga menyulut kemarahan, kebencian, caci maki dan sebagainya karena daya nalar kita yang maih kurang dalam “menyerap” informasi tersebut.
Sebab, “kebenaran” yang diklaim oleh sejumlah pihak bukanlah kebenaran sebagaimana mestinya lagi. Ia sudah dicampur dan diolah oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab. Sehingga kita mestilah pandai dalam memilah informasi, mencernanya, mengkritisi kebenarannya baru kemudian memercayainya. Untuk itulah, pendidikan bernalar yang mesti bekerja untuk dapat menjadi alat dalam mengolah informasi tersebut.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Iwan Pranoto, guru besar matematika ITB, bahwa kemampuan nalar itu penting. Yang mencakup daya berpikir logis, keterampilan mengolah informasi dari bacaan, dan kemampuan mnyimpulkan dengan pemikiran sendiri.
Untuk memperoleh kemampuan nalar, kita butuh literasi. Dalam konteks ini, menurut Tati D. Wardi (Koran Tempo, 30/11/201), "literasi tidak hanya berkaitan dengan kemampuan baca tulis saja. Konsep literasi di sini berkaitan dengan kemampuan memaknai teks seperti huruf, angka, dan symbol cultural seperti gambar dan symbol secara kritis". Lebih pentingnya lagi, siswa dengan daya literasi tinggi mampu mengolah informasi dari teks yang dibacanya, untuk kemudian menyimpulkan dan mengambil keputusan atas informasi tersebut. Hal yang sudah menjadi tren lama mesti diubah dalam paradigma pendidikan sekarang, di tengah gempuran informasi yang berlimpah. Peserta didik tidak boleh mengambil mentah-mentah apa yang mereka peroleh. Mereka harus mampu membaca, memaknai, mengkritisi dan merespon informasi yang mereka dapatkan.
Paradigma baru literasi haruslah juga mencakup daya nalar siswa yang perlu terus diasah, tidak cukup dengan baca tulis saja. Tentu butuh waktu dan proses pembelajaran yang berkelanjutan agar pendidikan kita di Indonesia semakin baik (lagi) dan tentunya dengan “rasa Indonesia”. Wallahua’lam Bisshawab! Selamat hari pendidikan nasional!
Share on Google Plus

About Lintasanpenaku

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment