![]() |
Suasana di warung kopi |
Biasanya, saya dan beberapa kawan duduk
di warung kopi dekat persimpangan jalan, persis di tengah bisingnya kota nan berisik. Orang-orang yang lalu-lalang dan kendaraan-kendaraan yang melaju
menjadi “penyejuk” mata
saban hari. Pernah
suatu kali ketika listrik sedang sekarat, lebih tepatnya mati, suasana gaduh di
perempatan jalan dekat warung kopi itu tidak bisa dihindari.
Masing-masing ingin mendahului dan merasa dia yang paling patut dihargai dan
diutamakan untuk lewat. Suara klakson bersahutan dan pekikan serapah orang
saling bersahutan. “Kampret!”, teriak mereka.
Bahkan, terkadang
“kecelakaan” atau tabrakan di persimpangan jalan menjadi tontonan yang “tidak
membosankan”. Hampir setiap hari
ada saja yang melanggar lampu merah, keserempet, tersungkur, menabrak atau
ditabrak. Kita “dimanjakan” dengan tingkah
polah mereka yang mengacungkan “jari tengah” kepada pelanggar, sumpah serapah “korban” dan
“pelaku” tabrakan; menunggui pak polisi datang; hingga sekadar memerhatikan lampu yang berubah dari merah ke kuning,
hijau, kuning lagi dan kembali merah.
![]() |
Suasana pagi di persimpangan jalan di depan warung kopi |
Semua berlalu begitu cepat dan kadang-kadang dengan suasana yang tidak seperti
yang diharapkan. Suasana gaduh sudah pasti.
Di dalam warkop (warung kopi),
aroma kopi dan kepulan asap rokok sudah menjadi ciri khas dan seakan tak bisa dipisahkan. Entah bisa dikatakan demikian; kaffeine jumpa nikotin adalah perpaduan rasa yang mengasikkan. Pelan-pelan, semakin kopi disesapi,
semakin banyak pula ocehan yang keluar dari mulut-mulut mereka. Bagai mesiu
pelejit peluru di medan perang atau “perangsang” sistem produktifitas bagi
keluarnya nalar-nalar kritis, imajinatif dan kreatif.
Kalau ada yang minum kopi
seperti orang haus, ini patut dipertanyakan. Karena ngopi itu mesti dinikmati,
bukan pelepas dahaga semata. Di sini, canda-candaan renyah yang dibarengi dengan gelak tawa keras kerap menjadi
pemandangan biasa. Ini tempat umum, siapa pun boleh ketawa di sini.
Namun, ada yang kesal
tatkala mereka teriak-teriak keras sekali dan bersorak-sorak seperti orang kesurupan, waktu nonton bola misalnya. “Ini bukan pasar, bung!. Mengusik ketenteraman publik dan menggangu
kedamaian”,
kata teman saya yang cerpenis
dan tidak “gila”
bola” itu. Seharusnya mereka menghargai orang yang duduk menikmati
kopi dan tidak “edan bola”, lanjutnya.
Pindah tempat
Kali ini, saya pindah
tempat. Bersama kawan ngopi lain, kami akhirnya sepakat untuk sesekali mencari suasana baru dan duduk jauh dari suasana kota. Ya, tepat
sekali, kami duduk di pinggiran kota, di warkop kampung. Warung itu dekat
dengan persawahan dengan suasana hening, jauh dari keramaian. Tak ada laju
kendaraan yang buru-buru. Seolah-olah roda
kehidupan di
sini berjalan lambat dengan titahnya tersendiri. Satu dua orang datang ke
warung dan duduk mengobrol dengan kerabat sambil memelinting daun rokok. Sesaat kemudian, usai tegukan kopi dan kepulan
asap yang keluar dari mulut itu menjadi awal pembicaraan lebih serius.
“Bang, Giok di Nagan lagak that. Dua ploh ton, super lom. Emang Aceh hana
lawan, jithei lee donya”, Bang, Giok di Nagan indah sekali. Dua puluh ton,
giok super lagi, memanglah, Aceh tak ada tandingan, giok Aceh sudah dikenal
oleh dunia, kata salah seorang dari mereka mengawali pembicaraan. Memang, orang
di sini sudah “kembali ke zaman batu”. Tak kenal kota atau desa, semua sama
saja. “beutoi nyan”, betul itu, kata teman-temannya yang lain mengiyakan.
Sejurus kemudian, baru mereka pergi ke kebun atau ke sawah dengan memegang
cangkul atau parang. Sudah biasa kalau mengawali hari dengan segelas kopi.
Menikmati suasana di
sini kami merasakan sesuatu yang berbeda. Kawan yang dihadapan saya bilang, ”Suasana seperti ini mengingatkanku pada kampung halaman. Aku kangen
saat-saat seperti ini.” Senyumnya melebar ketika itu.
Menikmati kopi di tempat berbeda |
Terkadang, untuk bisa berpikir jernih di tengah suasana yang jumud dan penat kita
mesti keluar dari suasana nyaman. Menghindari suasana yang sudah sering
kita lalui. Mungkin, dengan melihat sebagai orang luar kita bisa lebih paham
suasana yang “membosankan” di dalam. Kita pun
bisa melakukan inovasi-inovasi dan mengatur strategi-strategi baru demi target
yang lebih tinggi.
Sesekali di suasana
seperti ini, siapa tahu kita lebih merasa nyaman dan tenang karena berada di
luar suasana biasa dan sebagai orang luar bagi suasana di situ. Karena sesuatu yang sudah biasa terkadang akan
kurang maknanya kala kita sudah menganggapnya sebagai rutinitas. Cobalah
sesekali melihat
dunia luar dari dalam dan sebaliknya, melihat dunia dalam dari luar. Rasakan bedanya! Menyenangkan, bukan? Wallahu a’lam.
Pagi, 5 Februari 2015
di sebuah warung kopi di seputaran Banda Aceh
0 comments:
Post a Comment