Umpama katak dibawah
tempurung, yang menganggap dunia hanya sebatas yang ia pijaki dan tatapi, selebar
daun kelor, begitu pun manusia yang tidak pernah keluar dari “dunia”nya. Hingga
pikiran dan pandangan pun hanya sebatas dan selebar itu. Katak bisa jadi
menganggap bahwa ia serba tahu karena sejauh mata memandang, ia hanya bisa
melihat tempurung. Ke sana kemari hanya seluas diameter tempurung. Ia
menganggap dirinya serba tahu, karena di sanalah ia menjadi “penguasa” yang
melihat dirinya berkuasa dan tahu melebihi siapa pun.
Namun, bila kelor itu
sudah berpapasan dengan kelor-kelor yang lain (baca: keluar dari zona eksklusif),
ia akan mendapati bahwa apa yang ia tahu selama ini masih sedikit. Kala
tempurung sudah dibuka atau dibalik, katak baru tahu bahwa dunia ini, ternyata,
tidaklah seperti yang ia anggap selama ini. Ada dunia yang lebih luas dan dia
belum pernah tahu.
Pandangan pun semakin
luas, kala langit bukan sebatas tampuk tempurung. Ternyata ada langit yang
lebih luas dan tinggi melebih yang ia tahu. Ia bukanlah satu-satunya yang tahu
dan beranggapan bahwa langit berbatas. Bahwa masih banyak yang lain yang lebih tahu darinya bahwa
langit itu tidak berbatas. Kita sendiri yang memberi batas, langit kita itu
sampai mana.
Maka berkatalah orang bijak,
“semakin kita tahu semakin tahu bahwa kita tidak tahu, alias yang kita tahu
masih sedikit”. Hal ini bermakna bahwa orang berilmu itu layaknya padi yang
berisi, semakin tahu semakin merunduk. Tidak congkak atau sombong. Ia tidak
serta merta membusungkan dada dan meremehkan orang lain akan “pengetahuannya”.
Sebaliknya, ruang diskusi dan dialog dibuka untuk “mencerahkan” apa duduk
persoalan yang dihadapi. Sehingga, tidak terjadi salah paham. Karena paham
tidak pernah jadi “benar-benar” paham sampai ia dipahamkan.
0 comments:
Post a Comment