Beberapa malam yang
lalu Aku tidak bisa tidur cepat. Untuk sekadar menikmati suasana malam, lantas Aku pergi ke warung kopi dekat rumah
dan memesan segelas
sanger panas. Begitu banyak orang masih melek memperhatikan layar di depan
mereka, tepatnya memlototin. Walaupun acara di sana kurang menarik, akan tetapi
karena mata tak bisa terpejam, bolehlah.
Di sana-sini masih ada orang yang bersenda dengan sesamanya untuk melepas penat atau memang sudah menjadi kebutuhan. Begitu pemandangan sekilas di sana. Saban hari pemandangan yang sama kerap terlihat. Hanya pada malam-malam tertentu saat perhelatan sepak bola klub favorit berlangsung kedai itu terlihat sesak dengan pecinta bola. Setiap malam minggu misalnya, atau ketika liga Champion berlangsung.
Di sana-sini masih ada orang yang bersenda dengan sesamanya untuk melepas penat atau memang sudah menjadi kebutuhan. Begitu pemandangan sekilas di sana. Saban hari pemandangan yang sama kerap terlihat. Hanya pada malam-malam tertentu saat perhelatan sepak bola klub favorit berlangsung kedai itu terlihat sesak dengan pecinta bola. Setiap malam minggu misalnya, atau ketika liga Champion berlangsung.
Aku duduk bersandar di tiang kedai sebelah
timur,
dekat dengan rak tukang masak mie. Di sebelahku
duduk seorang pria separuh baya berperawakan tinggi dan berjenggot tipis
kehitaman. Di depanku duduk seorang laki bertopi putih agak kecoklatan, tampak
sudah lama tidak kena air. Ia baru saja menyeruput kopi pancungnya dan hendak
pergi meninggalkan kedai setelah menanyakan berapa total rupiah yang harus dibayarkan,
dihitung dengan pancung-pancung kopi lain pada hari-hari yang lalu. Tampaknya
ia baru saja mendapatkan uang. Setelah membayar, ia pun bergegas pergi
meninggalkan kedai menuju ke arah utara, entah kemana.
Belakangan diketahui
bahwa ia adalah seorang yang “gila”, setelah keluarganya hilang ditelan Tsunami
pada tahun 2004 silam. Kata orang, ia tidak mengganggu sesiapa, hanya meminta
dua batang rokok. Satu disulut dan satunya lagi ditaruh di telinga, persis
seperti tukang bangunan di kampungku. Orang-orang di sana pun tidak hirau akan
itu, karena ia hanya berjalan di atas tapaknya saja. Ia masih waras untuk
membayar hutangnya di saat orang waras pura-pura lupa meninggalkan cawan bekas
kopi belum bayar lalu bergegas pergi.
Lalu, aku menoleh ke
arah kanan. Ada seorang tua bertopi hitam berjaket hitam tebal sedang berpikir
serius. Sesekali menghembus panjang asap rokok ke sampingnya, lalu meneguk
kecil kopi dari gelas di hadapannya. Pria pecinta rokok dan kopi. Di depannya
ada seorang pria beruban bermata hitam, dengan lingkaran mata panda. Isyarat ia
sering begadang. Ia pun berpikir tak kalah serius. Keduanya saling berhadapan
tanpa berkata-kata, berpikir keras. Keduanya punya hasrat untuk mengalahkan
satu sama lain. Ya, mereka lagi bermain catur. Cabang olahraga favoritku.
Sesekali aku melirik
ke arah mereka, memperhatikan tangan mereka menggerakkan pasukan dan mengatur siasat. Menambah wawasan akan langkah
catur. Sesekali mereka berteriak kecil tatkala langkah yang diambil salah. Ah, silap.
Begitu katanya. Hampir tiap malam mereka menuntaskan malam di warung kopi itu dengan
bermain catur.
Si tukang mie, arok
panggilannya, tengah menggoreng nasi untuk makan tengah malam. Ada beberapa
pria yang lagi menunggu gorengannya selesai untuk menyantap nasi itu. Tak lama
kemudian, masing-masing pria saling mengambil piring dan sepotong telur dadar.
Aku sendiri kebagian satu.
Selang beberapa baris
meja di hadapanku ada seorang pria tua berambut acak-acakan disuguhi nasi itu.
Ia berdiri menatap kosong nasi itu. Entah dadarnya berbulu ayam atau nasinya
yang kelihatan merah, membuatnya terpana. Ia tidak segera menyantap nasi itu,
meskipun sudah diminta beberapa kali. Tiba-tiba ia berkata begini, “aku tak
bisa makan, aku tak punya uang. Kalau diminta bayar gimana?”. Arok pun kembali
menjelaskan bahwa nasi itu tak perlu bayar, gratis. Namun ia mengambil langkah
pergi meraih sepeda bututnya menuju lampu merah. Lalu menghilang di balik pijar
lampu hijau menyala.
Lelaki urakan itu
bernama Sabri. Ia disinyalir kurang waras. Sehari-hari ia bekerja sebagai
pemulung di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Wajahnya yang kerutan menunjukkan
beban pikiran semakin memuncak. Ia tidak waras jika ngomel sendiri di tempat duduknya. Bahkan tak jarang ia sering
memaki ketika menonton televisi, lengkap dengan argumen pribadinya. Namun, jika
ia tak punya uang ia tak akan memesan apa pun pada pelayan. Ia lebih memilih
duduk diam di sana melihat orang tertawa. Bahkan jika sudah berhari-hari pun ia
tidak makan, jika tak punya uang ia tak akan makan pemberian orang lain.
Apalagi meminta-minta. Seperti yang sering dilakoni oleh para lelaki tangguh
dan wanita perkasa di jalanan, persimpangan hingga ke pertokoan.
Waraskah ia? Atau,
jangan-jangan, ia lebih waras dari orang waras. Mari bertanya pada masing-maing
kita. Bukan pada rumput yang bergoyang. Semoga bermanfaat!
0 comments:
Post a Comment