//]]>

Karena Tidak Semua Orang yang Melintas Berpandangan Sama!

Melihat Kewarasan dari Orang “Tak Waras”





Waras ga, ya? Go nuts via zazzle.com

Beberapa malam yang lalu Aku tidak bisa tidur cepat. Untuk sekadar menikmati suasana malam, lantas Aku pergi ke warung kopi dekat rumah dan memesan segelas sanger panas. Begitu banyak orang masih melek memperhatikan layar di depan mereka, tepatnya memlototin. Walaupun acara di sana kurang menarik, akan tetapi karena mata tak bisa terpejam, bolehlah.
Di sana-sini masih ada orang yang bersenda dengan sesamanya untuk melepas penat atau memang sudah menjadi kebutuhan. Begitu pemandangan sekilas di sana. Saban hari pemandangan yang sama kerap terlihat. Hanya pada malam-malam tertentu saat perhelatan sepak bola klub favorit berlangsung kedai itu terlihat sesak dengan pecinta bola. Setiap malam minggu misalnya, atau ketika liga Champion berlangsung.
Aku duduk bersandar di tiang kedai sebelah timur, dekat dengan rak tukang masak mie. Di sebelahku duduk seorang pria separuh baya berperawakan tinggi dan berjenggot tipis kehitaman. Di depanku duduk seorang laki bertopi putih agak kecoklatan, tampak sudah lama tidak kena air. Ia baru saja menyeruput kopi pancungnya dan hendak pergi meninggalkan kedai setelah menanyakan berapa total rupiah yang harus dibayarkan, dihitung dengan pancung-pancung kopi lain pada hari-hari yang lalu. Tampaknya ia baru saja mendapatkan uang. Setelah membayar, ia pun bergegas pergi meninggalkan kedai menuju ke arah utara, entah kemana.
Belakangan diketahui bahwa ia adalah seorang yang “gila”, setelah keluarganya hilang ditelan Tsunami pada tahun 2004 silam. Kata orang, ia tidak mengganggu sesiapa, hanya meminta dua batang rokok. Satu disulut dan satunya lagi ditaruh di telinga, persis seperti tukang bangunan di kampungku. Orang-orang di sana pun tidak hirau akan itu, karena ia hanya berjalan di atas tapaknya saja. Ia masih waras untuk membayar hutangnya di saat orang waras pura-pura lupa meninggalkan cawan bekas kopi belum bayar lalu bergegas pergi.
Lalu, aku menoleh ke arah kanan. Ada seorang tua bertopi hitam berjaket hitam tebal sedang berpikir serius. Sesekali menghembus panjang asap rokok ke sampingnya, lalu meneguk kecil kopi dari gelas di hadapannya. Pria pecinta rokok dan kopi. Di depannya ada seorang pria beruban bermata hitam, dengan lingkaran mata panda. Isyarat ia sering begadang. Ia pun berpikir tak kalah serius. Keduanya saling berhadapan tanpa berkata-kata, berpikir keras. Keduanya punya hasrat untuk mengalahkan satu sama lain. Ya, mereka lagi bermain catur. Cabang olahraga favoritku.
Sesekali aku melirik ke arah mereka, memperhatikan tangan mereka menggerakkan pasukan dan mengatur siasat. Menambah wawasan akan langkah catur. Sesekali mereka berteriak kecil tatkala langkah yang diambil salah. Ah, silap. Begitu katanya. Hampir tiap malam mereka menuntaskan malam di warung kopi itu dengan bermain catur.
Si tukang mie, arok panggilannya, tengah menggoreng nasi untuk makan tengah malam. Ada beberapa pria yang lagi menunggu gorengannya selesai untuk menyantap nasi itu. Tak lama kemudian, masing-masing pria saling mengambil piring dan sepotong telur dadar. Aku sendiri kebagian satu.
Selang beberapa baris meja di hadapanku ada seorang pria tua berambut acak-acakan disuguhi nasi itu. Ia berdiri menatap kosong nasi itu. Entah dadarnya berbulu ayam atau nasinya yang kelihatan merah, membuatnya terpana. Ia tidak segera menyantap nasi itu, meskipun sudah diminta beberapa kali. Tiba-tiba ia berkata begini, “aku tak bisa makan, aku tak punya uang. Kalau diminta bayar gimana?”. Arok pun kembali menjelaskan bahwa nasi itu tak perlu bayar, gratis. Namun ia mengambil langkah pergi meraih sepeda bututnya menuju lampu merah. Lalu menghilang di balik pijar lampu hijau menyala.
Lelaki urakan itu bernama Sabri. Ia disinyalir kurang waras. Sehari-hari ia bekerja sebagai pemulung di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Wajahnya yang kerutan menunjukkan beban pikiran semakin memuncak. Ia tidak waras jika ngomel sendiri di tempat duduknya. Bahkan tak jarang ia sering memaki ketika menonton televisi, lengkap dengan argumen pribadinya. Namun, jika ia tak punya uang ia tak akan memesan apa pun pada pelayan. Ia lebih memilih duduk diam di sana melihat orang tertawa. Bahkan jika sudah berhari-hari pun ia tidak makan, jika tak punya uang ia tak akan makan pemberian orang lain. Apalagi meminta-minta. Seperti yang sering dilakoni oleh para lelaki tangguh dan wanita perkasa di jalanan, persimpangan hingga ke  pertokoan.
Waraskah ia? Atau, jangan-jangan, ia lebih waras dari orang waras. Mari bertanya pada masing-maing kita. Bukan pada rumput yang bergoyang. Semoga bermanfaat!
Share on Google Plus

About Lintasanpenaku

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment