“Aku kan bang, kalau
ada mana ada. Sudah kukasih semua yang aku punya ke abang. Ini masalahnya
bang, apa yang abang minta ga punya aku. Kalau ada mana ada”, begitu jawaban
teman saya ketika saya minta pinjam sejumlah dana untuk keperluan mendadak
beberapa waktu lalu.
Dalam keseharian, di
dalam bahasa Aceh sering terdengar kalimat “menyoena pane na”.
Dapat diartikan secara leterlek sebagai “kalau ada mana ada”. Atau, bisa juga dimaknai dengan “andai ada kenapa enggak?” Hal ini tidak hanya berlaku untuk masalah keuangan. Dalam meminta bantuan lainnya pun kerap terjadi dialog seperti itu. Tatkala permintaan tolong tidak bisa dipenuhi, seringnya akan dijawab dengan ujung klaimatnya "kalau ada mana ada", menyoe na pane na.
Dapat diartikan secara leterlek sebagai “kalau ada mana ada”. Atau, bisa juga dimaknai dengan “andai ada kenapa enggak?” Hal ini tidak hanya berlaku untuk masalah keuangan. Dalam meminta bantuan lainnya pun kerap terjadi dialog seperti itu. Tatkala permintaan tolong tidak bisa dipenuhi, seringnya akan dijawab dengan ujung klaimatnya "kalau ada mana ada", menyoe na pane na.
Ada dan tidak ada
terkadang membuat kita bingung,
perbedaannya tipis sekali, terlebih, kala yang diucap sama yang kenyataan tidak
nampak. Semuanya seakan sama dan seperti itu.
Sekilas, apa yang
diungkapkan oleh teman saya itu menunjukkan empati atas apa yang saya hadapi
ketika itu. Kalau memang dia punya apa yang saya pinta, tentu sudah dikasihnya.
Saya merasa dihargai dan tidak jadi kecewa kala itu. Sebuah ungkapan “peumangat
atee”, menyenangkan hati, kepada lawan bicara.
Kali lain, hal yang
sama juga berlaku. Ketika hal-hal lain diperlukan, jawabannya selalu sama. Ini
menimbulkan tanda tanya, ini kawan kapan adanya yaaaa? Kok selalu tidak ada.
Kalau ada mana ada.
Sumber gambar: www.dvdbeaver.com
0 comments:
Post a Comment