//]]>

Karena Tidak Semua Orang yang Melintas Berpandangan Sama!

Kala Harap Enggan Menyapa







Bila merujuk ke KBBI, kata harap sebagai kata kerja berarti keinginan supaya sesuatu terjadi. Sebagai kata benda, harapan berarti “sesuatu yang (dapat) diharapkan; keinginan supaya menjadi kenyataan; orang yang diharapkan atau dipercaya.

Harapan terkadang menyakitkan. Apalagi kalau yang diharap tak kunjung datang. Mengharapkan ketidakpastian.

Namun sebaliknya, orang yang berharap justru bisa “panjang” umurnya.
Bukan menyalahi aturan ilahiah, panjang di sini dimaksudkan sebagai keinginan agar sesuatu yang diidamkan tercapai. Misalnya saja, harapan sembuh. Ketika seorang pasien yang menderita kanker stadium tingkat lanjut, sebagian menjadi sangat takut. Bisa-bisa lebih cepat “pergi” ketimbang yang telah diprediksi.

Sebagian kita selalu menyandarkan pada harapan. Harapan bahwa seseorang akan datang di waktu yang tepat, walaupun waktunya tidak tahu pasti.

Hal ini berlawanan dengan mereka yang punya harapan untuk sembuh. Meski ia telah divonis akan segera mengikuti jejak nenek moyangnya ke alam sana, tetapi ia masih saja berharap akan kesembuhan dan punya jatah hidup melebihi yang telah ditaksir oleh para dokter. Katanya, “yang menentukan hidup atau mati saya bukanlah dokter, tetapi Allah”.

Ia menambahkan, “siapa yang lebih berkuasa dan punya kehendak lebih untuk menakdirkan hidup dan mati seseorang? Bisakah dokter itu mendahului-NYA?”. Di penghujung kalimatnya, ia berujar, ”kalau memang saya telah ditakdirkan untuk kembali pada-NYA detik ini, saya siap. Dan usaha utnuk sembuh itu adalah milik semua insan yang percaya pada kebesaran Allah. Saya berserah diri kepada-NYA. Biarlah Allah yang menentukan. Saya hanya berusaha”.

Singkatnya, sebulan kemudian, ia pun sembuh. Ia senang bukan main. Ia mengajak seluruh anggota keluarganya untuk pergi berjalan-jalan kemana saja. Berkeliling kota, kampung dan pinggiran kota lain. Layaknya bertamasya. Seminggu kemudian, ia pun menghembuskan nafas terakhirnya. Di akhir hayatnya, ia pun tersenyum bahagia, dapat menikmati hidup yang singkat itu. Kuasa Allah.

Dari penggalan cerita di atas, harapan pasien tersebut menjadi dorongan yang kuat baginya untuk tetap hidup dan berusaha untuk kesembuhannya.

Berkah pulang Kampung
Di lain waktu, saya bertemu dengan seorang teman yang berbeda kisahnya. Ia telah lama sekali mengharapkan seorang wanita yang telah ia nanti selama sewindu. Tiap hari mempersiapkan senyum terbaiknya untuk menyambut pagi. Dan menyambut sang doi tentunya. Sapaan, dan senyuman tulus itu telah ia ulang saban hari.

Di hari pertama pada tahun ke sembilan, ia mendapati rumah sang pujaannya ramai sekali kedatangan tamu. Ia pun bergegas mencari tahu. Ia mendapati bahwa wanita itu tengah dipersunting orang dan memberi harapan untuk membangun rumah tangga bersamanya.

Pupuslah harapan teman saya. Untuk bisa tidur susahnya minta ampun. Matanya tidak jernih lagi dan sudah membentuk lingkaran panda di sekitar pelupuk matanya. Hampir seminggu ia kurang nafsu makan. Seminggu kemudian, perutnya kembung dan maagnya kambuh. Minggu ketiga ia sakit kepala dan minggu setelahnya, ia memutuskan pulang ke rumah neneknya di pedalaman. Katanya, ia ingin mencari ketenangan di sana, menjauh dari bising dan hiruk pikuk perkotaan.

Ketika berpamitan, saya menitip pesan bahwa tak semua yang diharapkan akan menjadi kenyataan. Teruslah bersyukur dan mencari nikmat Allah yang lain. Ia tak ditakdirkan untukmu. Carilah suasana baru di sana. Semoga suatu saat kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang berbeda.

Sekitar lima tahun kemudian, saya berjumpa dengannya dalam waktu yang tak terduga. Tak disangka pula akan bertemu di tempat yang jauh dari kampung halaman. Ia tampak sehat sekali dan telah memakai kacamata tebal. Saya menegurnya, ia pun ramah dan saling berbagi pengalaman sekilas mengenai kehidupan.

Lantas, ia pun berterimakasih atas penolakan wanita yang dulu pernah ia berikan senyum terbaiknya. Kalau saja ia masih menjaga senyum itu, ia tak tahu harus menulis apa untuk menggambarkan kesedihan dan kegetiran hidup yang ia punya dan tentunya tidak ada cerita untuk dikisahkan.

Sekarang ia telah menjadi seorang penulis parodi di tingkat kotanya sekaligus menjadi konsultan pribadi mereka yang punya kisah yang hampir serupa. Dan berkat pulang ke rumah neneknya pula, ia telah menemukan pendamping hidup yang lain, yang kini menjadi istrinya, menghadirkan senyum yang dulu pernah pupus. Sungguh kebalikan dari kehidupannya sebelumnya.

Walau yang diharap tak mengharapkan dia, namun ia telah mendapati orang yang mengharap dia. Syukur, Alhamdulillah!.


 Sumber gambar: www.mythsandrisks.info
Share on Google Plus

About Lintasanpenaku

    Blogger Comment
    Facebook Comment

6 comments:

  1. Alhamdulillah kali ya bang Marcel. Semoga kita tidak salah harap nantinya. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. @citra rahman: hehe... Alhamdulillah kalo gt bg.
      آمــــــــــــــــــين يا رب العالمين.
      Smoga harapan akan slalu ada buat kita semua :D

      Delete
  2. Replies
    1. @Fardelyn Hacky: Hehe... Makasih kak Eky!
      Eh, btw, TFS apaan ya kak?hehe

      Delete
  3. Teruslah bersyukur atas nikmat Allah SWT. Gantungkan segala harapan kita hanya pada-Nya :)
    mantapp, bang!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yap, betul itu karl.
      La haula wala quwwata illa Billah.
      Thanks Karl! :D

      Delete