Bila merujuk ke KBBI, kata harap
sebagai kata kerja berarti keinginan supaya sesuatu terjadi. Sebagai kata
benda, harapan berarti “sesuatu yang (dapat) diharapkan; keinginan supaya
menjadi kenyataan; orang yang diharapkan atau dipercaya.
Harapan terkadang menyakitkan.
Apalagi kalau yang diharap tak kunjung datang. Mengharapkan ketidakpastian.
Namun sebaliknya, orang yang
berharap justru bisa “panjang” umurnya.
Bukan menyalahi aturan ilahiah, panjang di sini dimaksudkan sebagai keinginan agar sesuatu yang diidamkan tercapai. Misalnya saja, harapan sembuh. Ketika seorang pasien yang menderita kanker stadium tingkat lanjut, sebagian menjadi sangat takut. Bisa-bisa lebih cepat “pergi” ketimbang yang telah diprediksi.
Bukan menyalahi aturan ilahiah, panjang di sini dimaksudkan sebagai keinginan agar sesuatu yang diidamkan tercapai. Misalnya saja, harapan sembuh. Ketika seorang pasien yang menderita kanker stadium tingkat lanjut, sebagian menjadi sangat takut. Bisa-bisa lebih cepat “pergi” ketimbang yang telah diprediksi.
Sebagian kita selalu menyandarkan
pada harapan. Harapan bahwa seseorang akan datang di waktu yang tepat, walaupun
waktunya tidak tahu pasti.
Hal ini berlawanan dengan mereka
yang punya harapan untuk sembuh. Meski ia telah divonis akan segera mengikuti
jejak nenek moyangnya ke alam sana, tetapi ia masih saja berharap akan
kesembuhan dan punya jatah hidup melebihi yang telah ditaksir oleh para dokter.
Katanya, “yang menentukan hidup atau mati saya bukanlah dokter, tetapi Allah”.
Ia menambahkan, “siapa yang lebih
berkuasa dan punya kehendak lebih untuk menakdirkan hidup dan mati seseorang?
Bisakah dokter itu mendahului-NYA?”. Di penghujung kalimatnya, ia berujar,
”kalau memang saya telah ditakdirkan untuk kembali pada-NYA detik ini, saya
siap. Dan usaha utnuk sembuh itu adalah milik semua insan yang percaya pada
kebesaran Allah. Saya berserah diri kepada-NYA. Biarlah Allah yang menentukan.
Saya hanya berusaha”.
Singkatnya, sebulan kemudian, ia pun sembuh. Ia senang bukan main. Ia mengajak seluruh anggota keluarganya untuk pergi berjalan-jalan kemana
saja. Berkeliling kota, kampung dan pinggiran kota lain. Layaknya bertamasya. Seminggu kemudian, ia pun
menghembuskan nafas terakhirnya. Di akhir hayatnya, ia pun tersenyum bahagia,
dapat menikmati hidup yang singkat itu. Kuasa Allah.
Dari penggalan cerita di atas,
harapan pasien tersebut menjadi dorongan yang kuat baginya untuk tetap hidup
dan berusaha untuk kesembuhannya.
Berkah
pulang Kampung
Di lain waktu, saya bertemu
dengan seorang teman yang berbeda kisahnya. Ia telah lama sekali mengharapkan
seorang wanita yang telah ia nanti selama sewindu. Tiap hari mempersiapkan
senyum terbaiknya untuk menyambut pagi. Dan menyambut sang doi tentunya.
Sapaan, dan senyuman tulus itu telah ia ulang saban hari.
Di hari pertama pada tahun ke
sembilan, ia mendapati rumah sang pujaannya ramai sekali kedatangan tamu. Ia
pun bergegas mencari tahu. Ia mendapati bahwa wanita itu tengah dipersunting
orang dan memberi harapan untuk membangun rumah tangga bersamanya.
Pupuslah harapan teman saya.
Untuk bisa tidur susahnya minta ampun. Matanya tidak jernih lagi dan sudah
membentuk lingkaran panda di sekitar pelupuk matanya. Hampir seminggu ia kurang
nafsu makan. Seminggu kemudian, perutnya kembung dan maagnya kambuh. Minggu
ketiga ia sakit kepala dan minggu setelahnya, ia memutuskan pulang ke rumah
neneknya di pedalaman. Katanya,
ia ingin mencari ketenangan di sana, menjauh dari bising dan hiruk pikuk
perkotaan.
Ketika berpamitan, saya menitip pesan bahwa tak
semua yang diharapkan akan menjadi kenyataan. Teruslah bersyukur dan mencari nikmat
Allah yang lain. Ia tak ditakdirkan untukmu.
Carilah suasana baru di sana. Semoga suatu saat kita akan bertemu kembali dalam
keadaan yang berbeda.
Sekitar lima tahun kemudian, saya
berjumpa dengannya dalam waktu yang tak terduga. Tak disangka pula akan bertemu
di tempat yang jauh dari kampung halaman. Ia tampak sehat sekali dan telah
memakai kacamata tebal. Saya menegurnya, ia pun ramah dan saling berbagi
pengalaman sekilas mengenai kehidupan.
Lantas, ia pun berterimakasih atas penolakan wanita yang dulu pernah ia berikan
senyum terbaiknya. Kalau saja ia masih menjaga
senyum itu, ia tak tahu harus menulis apa untuk menggambarkan kesedihan dan
kegetiran hidup yang ia punya
dan tentunya tidak ada cerita untuk dikisahkan.
Sekarang ia telah menjadi seorang
penulis parodi di tingkat kotanya sekaligus menjadi konsultan pribadi mereka
yang punya kisah yang hampir serupa. Dan berkat pulang ke rumah neneknya pula,
ia telah menemukan pendamping hidup yang lain, yang kini menjadi istrinya, menghadirkan senyum yang
dulu pernah pupus.
Sungguh kebalikan dari kehidupannya sebelumnya.
Walau yang diharap tak
mengharapkan dia, namun ia telah mendapati orang yang mengharap dia. Syukur, Alhamdulillah!.
Sumber gambar: www.mythsandrisks.info
Alhamdulillah kali ya bang Marcel. Semoga kita tidak salah harap nantinya. :D
ReplyDelete@citra rahman: hehe... Alhamdulillah kalo gt bg.
Deleteآمــــــــــــــــــين يا رب العالمين.
Smoga harapan akan slalu ada buat kita semua :D
Nice story Mursal. TFS ya
ReplyDelete@Fardelyn Hacky: Hehe... Makasih kak Eky!
DeleteEh, btw, TFS apaan ya kak?hehe
Teruslah bersyukur atas nikmat Allah SWT. Gantungkan segala harapan kita hanya pada-Nya :)
ReplyDeletemantapp, bang!!
Yap, betul itu karl.
DeleteLa haula wala quwwata illa Billah.
Thanks Karl! :D