Di ruangan yang disesaki
buku-buku yang berserakan. Di temani oleh segelas sanger, aku menuliskan kata per kata hingga membentuk beberapa
kalimat di laptopku. Tiada sesuara di sini. Hanya kipas tua yang berputar dengan
gaduhnya tanpa terpengaruh oleh sunyinya malam ini.
Suara kipas angin itu
berdesis-desis seperti suara gergaji yang dikikir oleh kakek tempo hari. Desisnya
memelan seiring usia yang ditempuh sang kakek. Tutupnya pun sudah tidak ada
lagi, entah kemana perginya. Selingkuh dengan lelaki lain mungkin. “Yang
penting dingin” begitu kataku singkat begitu teman-teman bertanya seenaknya
sambil tersenyum yang dibuat-buat.
Untuk menghempaskan kesunyian
itu, aku putarkan lagu yang tertera di playlist
laptopku. Entah apapun itu, asal enak didengar akan kudengar. Aih, kesunyian
terkadang menyeramkan juga, setidaknya kali ini. Mungkin lain kali aku akan
merindukan kesunyian itu, tepatnya ketenangan.
Beberapa saat kemudian, mataku
tertuju pada serakan buku yang tersusun itu. Di antara serakan itu, kulihat ada
sebuah kotak yang belum terbuka. Lalu tanganku meraih kotak itu dan membukanya.
Buku-buku kuliahku, juga bacaan umum lainnya yang dulu pernah kucampakkan dalam
kardus, mulai kubongkar. Banyak sekali buku yang tidak tersusun rapi, asal muat
saja.
Itu kulakukan setahun yang lalu
ketika aku buru-buru pindah dari tempat kostku
yang lama. Ketika itu aku seperti dikejar-kejar oleh pemilik kost. Bukan salah dia memang. Sudah
lewat sebulan aku tinggal di sana melebihi batas ketentuan yang telah kami
sepakati. Hampir tiap dua hari sekali dia menanyaiku apakah aku masih mau
tinggal di sini atau tidak. Karena calon penyewa baru sudah bertanya perihal
rumah sewa tersebut.
Akhirnya, setelah bertanya
sana-sini aku dapati rumah yang dicari. Yah, setidaknya lepas dari kejaran pemilik kost yang lama. Hehe... Uang muka telah kuserahkan untuk
memantapkan hati pemilik rumah, bahwa aku bersungguh-sungguh ingin menempati
rumahnya. Walaupun tidak banyak, namun setelah meyakinkannya segera setelah aku
dapati uang akan kukasih sisanya, ia pun nurut. Semua barangku telah kumasukkan
ke rumah kostku yang baru. Tinggal merapikannya saja ke dalam wadah yang cocok.
Setelah beberapa lama mencungkil
kotak, ada sebuah buku yang menarik hati untuk segera kubaca. Buku itu telah
lusuh. Kumuh dan dimakan rayap dipinggirnya. Seperti ayam yang mengorek-ngorek
rejeki, aku bersihkan buku itu. Setelah beberapa waktu, kudapati buku itu
bersih. Namun rupanya seperti roti gosong yang dipatuk ayam dipinggirnya.
Berlubang.
Di sana bertuliskan sebuah judul
yang sangat kukenal. Sunyi Tak Berarti Sunyi. Aku sendiri yang menuliskannya tempo hari, ketika moodku masih terbilang sangat
bagus untuk menulis. Meskipun bukan dalam bentuk buku yang sesungguhnya,
tepatnya mirip tindihan koran lusuh yang diikat. Akan tetapi, kubuat seperti buku
yang berisikan kumpulan cerpen dan sajak tentang kesunyian.
Di sana kutambahkan
kalimat-kalimatku sendiri di pinggir halamannya. Walaupun kurang ngerti apa
yang kutuliskan, masih belum cukup umur mungkin, hehe.... tetap saja kutulis. Perlahan namun pasti, kucoba renungi setiap sisi kalimat
itu dengan jawaban dari perjalanan yang sedang kutempuh di kehidupan sekarang
ini. Meski jawaban pasti belum kudapati.
Dan, sepotong sunyi kemarin sore masih
tersisa di malam ini.
Waaah, Bang Bro sudah punya naskah buku? Kenapa tak dibukukan? Huhu. Jangan buat ia tambah sunyi, segera ramaikan namamu di toko2 buku. :D
ReplyDeleteHehe... Mudah2an suatu hari nanti bisa dbukukan...
DeleteHarus isi materinya dlu, :D
Doanyaaa....